Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris
Portofolio
Ke-3
Teori
dan Strategi Pembelajaran Vokasi
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Muchlas, M.T.
Penyusun :
Kartikaningsih (2308049030)
Portofolio KE-3
Melalui kuliah ini saya memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan tentang:
Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris
Ikhtisar Sistem Pendidikan di Inggris
Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara
(United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland) atau sering disebut
“Inggris” memiliki empat negara bagian, yaitu; Inggris (England), Skotlandia,
Wales, dan Irlandia Utara. Sama halnya seperti Indonesia, pemerintah daerah
diberikan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pendidikan di daerah
masing-masing. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika praktik pendidikan
antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya memiliki perbedaan.
Pemerintah Inggris memberlakukan program wajib belajar nasional. Berdasarkan
Undang-Undang Pendidikan tahun 1996, orangtua atau wali di negara bagian
Inggris diwajibkan untuk memastikan bahwa setiap anak berusia lima hingga enam
belas tahun mendapatkan pendidikan. Usia wajib belajar ini mencakup jenjang
Pendidikan dasar (primary school)
dan jenjang pendidikan menengah (secondary school) tingkat awal.
1. Pendidikan pra-dasar (pre-school)
Pendidikan pra-dasar diikuti oleh peserta didik berusia di bawah 5 tahun.
Adapun pembelajaran dilakukan dengan cara bermain. Area pembelajaran meliputi
bahasa dan komunikasi, perkembangan fisik, perkembangan pribadi, sosial dan
emosional, literasi, matematika, pemahaman tentang dunia, seni dan rupa
(Gov.Uk, n.d(a)). Pemerintah
menyediakan pendidikan pradasar tanpa biaya, 15 jam per-minggunya untuk anak
berusia tiga tahun ke atas selama 38 minggu (Gov UK, n.d.(b)). Orangtua dapat
memberikan tambahan lama waktu sekolah dengan biaya pribadi. Anak yang kedua
orangtuanya memiiki penghasilan di bawah upah minimum nasional, mendapatkan
pendidikan pra-dasar tanpa bayar dari pemerintah selama 30 jam per minggu (Gov
UK, n.d.(b)).
2. Pendidikan dasar (primary school)
Pendidikan dasar diikuti oleh
peserta didik berusia 4–11 tahun dan berlangsung selama tujuh tahun. Ada duaKey
Stage di tingkat ini yaitu Key Stage 1 (untuk tahun pertama dan kedua) serta
Key Stage 2 (untuk tahun ketiga hingga kelima). Key Stage adalah pembagian
tahapan pembelajaran sesuai dengan ketrampilan dan pengetahuan yang ingin
dicapai pada akhir tiap tahapan. Pada Key Stage 1 dan 2, peserta didik belajar
matematika, bahasa Inggris, sains, desain dan teknologi, sejarah, geografi,
keterampilan dan desain, musik, olahraga, dan komputer. Selain itu, pada key
stage 2 peserta didik juga belajar bahasa asing. Sekolah juga diwajibkan untuk
menyediakan mata pelajaran agama dijenjang ini. Pelajaran agama tidak spesifik
pada pendalaman satu agama saja, namun berbagai agama di dunia. Jika
berkeberatan, orangtua dapat meminta peserta didik untuk tidak mengikuti pelajaran
ini (Gov UK, n.d.(c)).
3. Pendidikan menengah (secondary
school)
Pendidikan menengah berlangsung
selama lima hingga tujuh tahun. Peserta didik pendidikan menengah tingkat
pertama berusia 11–16 tahun. Ada dua Key Stage yaitu Key Stage 3 (untuk tahun
ketujuh hingga kesembilan) dan Key Stage 4 (untuk tahun kesepuluh hingga
kesebelas). Setelah menyelesaikan Key Stage 4 (usia 16 tahun), peserta didik
akan mengambil ujian General Certificate of Secondary Education (GCSE). Setelah
menyelesaikan GCSE, peserta didik dapat memilih untuk melanjutkan ke pendidikan
menengah atas (jalur akademik), pendidikan vokasi (vokasional), program magang
(vokasional), pendidikan berkelanjutan (further education), atau langsung
bekerja. Peserta didik memiliki pilihan untuk mengambil berbagai tipe
qualifikasi seperti A-Level, International Baccalaureate, Cambridge
pre-University, atau Foundation.
4. Pendidikan tinggi (higher education)
Pendidikan tinggi diikuti oleh
mahasiswa berusia di atas 18 tahun. Ada tiga jenjang yang dapat ditempuh yaitu
S1 (undergraduate) yang berdurasi tiga tahun, S2 (Master) yang biasanya
berdurasi satu tahun, dan S3 (PhD.) yang berdurasi minimal tiga tahun. Di
universitas tertentu ada beberapa program yang mengkombinasikan jenjang S1 dan
S2 dalam satu program, sehingga di akhir empat tahun pembelajaran mahasiswa
langsung menerima gelar S2 (Master).
Tipe Sekolah
1. State School
State School adalah tipe sekolah yang mendapatkan bantuan
dana dari pemerintah dan menggunakan kurikulum nasional. State School tidak memungut
uang sekolah dan terbuka bagi seluruh peserta didik dengan tingkat kemampuan
akademik yang beragam.
2. Free School Free school adalah tipe
sekolah yang didanai oleh pemerintah, namun pengelolaannya tidak dilakukan oleh
pemerintah daerah, melainkan anggota masyarakat. Kepala sekolah memiliki
wewenang yang besar pada sekolah tipe ini, mulai dari perencanaan kurikulum,
uang sekolah, hingga kalender akademik. Sekolah ini terbuka untuk semua, oleh
karena itu tidak melakukan seleksi akademik kepada calon peserta didik (Gov UK,
n.d.(d)).
3. University Technical Colleges (UTC)
UTC mirip dengan free school, namun manajemennya dipimpin oleh institusi
pendidikan tinggi atau perusahaan. UTC hanya ada di jenjang pendidikan menengah
tingkat atas dan biasanya mengajarkan pendidikan spesialis. Contoh: teknik,
konstruksi, teknik informatika, dan bisnis (Gov UK, n.d.(d)).
4. Grammar School Grammar School mirip
dengan Foundation school, namun Grammar School memiliki wewenang untuk
melakukan seleksi yang ketat berdasarkan kemampuan akademis. Oleh karena itu,
biasanya peserta didik Grammar School memiliki kemampuan akademis yang lebih
tinggi daripada tipe sekolah pada umumnya. Grammar School hanya ada di jenjang
pendidikan menengah.
5. Academy Academyadalah tipe sekolah
yang dibiayai oleh pemerintah pusat, tidak bertanggung jawab kepada pemerintah
daerah, namun tetap mendapatkan inspeksi kualitas dari badan akreditasi.
6. Public School Public school juga
dikenal sebagai independent school atau private school. Public school berbeda
dengan state school. Publik di sini bukan berarti “sekolah negeri” (=state
school) layaknya di Indonesia. Public school adalah sekolah swasta yang
memungut uang sekolah dan memiliki kebebasan untuk menentukan kurikulum dan
persyaratan masuk.
7. Sixth-form Colleges Sixth-form
Colleges adalah sekolah yang menerima dana bantuan dari pemerintah, namun hanya
mengkhususkan pada pemelajaran jenjang menengah setelah Key Stage 4.
Pendidikan Vokasi di Inggris
Sistem pendidikan vokasi(Vocational Education
Training) di Inggris dimulai dari jenjang pendidikan menengah setelah key stage
4 hingga pendidikan tinggi. Pada pendidikan vokasi, peserta didik belajar
hal-hal praktik yang berhubungan langsung dengan pekerjaan. Ada dua tipe
pendidikan vokasi. Pertama adalah pendidikan vokasi yang berfokus pada
pembelajaran di institusi, baik itu sekolah vokasi maupun institusi
profesional. Melalui jalur ini, peserta didik lebih banyak melakukan
pemelajaran di dalam sebuah institusi pendidikan. Kedua, pendidikan vokasi yang
berfokus pada pemelajaran praktikal melalui program magang (apprenticeship).
Melalui program magang peserta didik lebih banyak melakukan pemelajaran
praktikal di perusahaan sambil mengambil kelas yang lebih bersifat teoretikal
di institusi pen didikan
lokal (CA4P, 2017). Melalui jalur ini, peserta didik menerima upah kerja dari
perusahaan. Perserta didik biasanya menghabiskan satu hari per minggu di
perguruan tinggi untuk memelajari sertifikat teknis dan sisa waktu mereka dalam
pelatihan atau bekerja.
Kualifikasi pendidikan vokasi yang umum diambil
oleh peserta didik adalah BTEC (Business & Technology Education Council)
dan VCE (Vocational Certificates of Education). BTEC terdiri dari empat
tingkatan yaitu: BTEC First Diploma, BTEC National, HNCs (BTEC Higher National
Certificates dan HNDs (BTEC Higher National Diploma). Sementara VCE terdiri
atas dua tingkatan yaitu: Vocational AS Level dan Vocational A Level. Untuk
program magang, ada dua tingkatan magang di jejang sekolah menengah yaitu
intermediate apprenticeship (setara degan GCSE) dan advanced apprenticeship
(setara dengan A-level). Sementara untuk pendidikan tinggi ada dua tingkatan
magang, yaitu higher apprenticeship (setara Foundation) dan degree
apprenticeship (setara dengan S1). Menanggapi kebutuhan pasar untuk tenaga
kerja yang memiliki keterampilan tinggi, pemerintah negara bagian Inggris
menggalakan pendidikan vokasi dengan melakukan beberapa terobosan seperti
peningkatan program magang di tingkat Pendidikan menengah. Sejak bulan April
2017, pemerintah negara bagian Inggris juga mewajibkan perusahaan lokal yang
total pengeluaran gaji karyawannya lebih dari £3 juta per tahun untuk membayar
apprenticeship levy (GovUK, nd(e)). Dengan adanya apprenticeship levy, sekolah
mendapatkan tambahan dana untuk melakukan program magang.
Perkembangan Konsep dan Implementasi
Pendidikan Vokasi dan Sistem Sertifikasi di Inggris
Pada tahun 1993 pemerintah Inggris
merilis program Modern Apprenticeship (MA) atau program magang untuk
diintegrasikan dengan skema pendidikan vokasi usia 16 hingga 19 tahun guna
memperoleh sertifikasi keahlian NVQ Level 3 (Winch & Hyland, 2007, p. 25).
Kebijakan MA ini kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja
sehingga pada tahun 2001 muncul kebijakan Foundation Modern Apprenticeship
(FMA) untuk Level 2 dan Advanced Modern Apprenticeship (AMA) untuk Level 3
(ibid., p.28).
Kehadiran GNVQs tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan NVQs sebagai sistem sertifikasi resmi pertama.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan memperluas cakupan kualifikasi
vokasional yang sesuai dengan peserta didik, sehingga dapat diajarkan pada
tingkat sekolah dan college untuk memperkenalkan dunia kerja guna menyiapkan
calon tenaga kerja maupun mahasiswa (Raggatt dan Williams, 1999, hal. 118).
Berikut adalah perbedaan antara NVQS dan GNVQS.
Dalam
konteks Indonesia, penting bagi Indonesia untuk memetakan jumlah tenaga kerja
ahli yang dibutuhkan dari sistem pendidikan vokasi untuk menghadapi persaingan
internasional. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia dapat mengacu pada ASEAN Mutual
Recognition Arrangement (MRA). Kesepakatan MRA ini mendorong mobilisasi
high-skilled workers dan juga perdagangan jasa (International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014). Terdapat delapan profesi yang
diutamakan dalam hal ini, yaitu: Insinyur (Sarjana Teknik), Arsitek, Tenaga
Pariwisata, Akuntan, Dokter Gigi, Tenaga Survei, Tenaga Pariwisata, dan juga
Perawat. Tidak hanya itu, ASEAN pun sebenarnya telah menetapkan kerangka
standar tenaga kerja yang diberi nama ASEAN Qualifications Reference Framework
(AQRF). Lulusan pendidikan vokasi dijabarkan dalam Kemendikbud dan GIZ SED-TVET
(2016) secara ideal ditentukan berdasarkan penguasaan standar kompetensi kerja
(Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). Dalam kaitannya dengan
pendidikan vokasi di Inggris, RQF dapat menjadi bahan untuk menentukan
kualifikasi pendidikan vokasi di Indonesia dari perspektif yang berbeda.
Berdasarkan penjabaran di atas, berikut
beberapa pelajaran yang dapat dipetik oleh Indonesia dari pengalaman Inggris:
1.
Melakukan inisiasi program yang dapat mendukung peningkatan kecakapan/keahlian
vokasional melalui sektor formal dan informal, serta menentukan standar
kompetensi atau kualifikasi yang terintegrasi baik untuk kualifikasi umum
maupun vokasional sejak jenjang pendidikan SMA hingga pendidikan tinggi.
2. Berkaca pada program apprenticeship,
Indonesia dapat meningkatkan partisipasi perusahaan dan institusi swasta
sebagai upaya peningkatan implementasi konsep triple helix antara institusi pendidikan,
pemerintah, dan juga swasta melalui program magang yang terstruktur dan diakui
kualifikasinya. Hal ini bisa diselaraskan dengan skala prioritas bidang
industri yang sesuai dengan Nawacita dan Indonesia Emas 2045.
3. Untuk sektor formal, pemerintah perlu
untuk berkolaborasi secara lebih serius dengan pihak swasta dalam menentukan
standar kompetensi dan kualifikasi terkait pengetahuan dan skills dalam bidang
vokasi, termasuk juga aturan penyelenggaran pendidikan vokasi berbentuk sekolah
formal dan lembaga kursus. Sehingga diharapkan kemampuan vokasional yang diakui
dapat diperoleh tidak hanya dari jenjang sekolah formal pemerintah ataupun
swasta berbentuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), tetapi juga dari lembaga
kursus keahlian/vokasional. Sebagaimana yang diterapkan Inggris pada sistem
NVQs dan GNVQs.
4.
Setelah melakukan serangkaian intervensi, pemerintah perlu secara konsisten
meningkatkan kualitas pendidikan vokasi. Selain itu perlu melakukan evaluasi
berkala sesuai dengan perkembangan industri. Penting juga untuk
mempertimbangkan prioritas dan aneka kebijakan pembangunan Indonesia, serta
mengikuti perkembangan ketetapan ASEAN dalam kerangka ASEAN Community. Sehingga
sertifikasi keahlian yang ditetapkan pemerintah Indonesia diharapkan dapat ditransfer
ke tingkat ASEAN sebagaimana sertifikasi Inggris yang dapat ditransfer ke
sistem sertifikasi Uni Eropa (EQF).
Penjaminan
Mutu Pendidikan Vokasi di Inggris
Pemerintah Inggris terus
berinvestasi dalam penjaminan mutu pendidikan vokasi untuk memenuhi kebutuhan
pasar yang beragam melalui penilaian internal maupun eksternal. Komitmen
pemerintah Inggris dapat dilihat dari inverstasisebesar £150 juta (setara
Rp.2.7 triliun) setiap tahunnya.
Di
Indonesia, pemerintah sebenarnya terus berusaha untuk merevitalisasi pendidikan
vokasi. Salah satu strategi yang dilakukan adalah akreditasi kelembagaan
(Kemendikbud, 2016). Hal ini berkaitan dengan peta jalan pendidikan vokasi
dalam menyikapi perubahan kondisi demografi yang berkaitan dengan komposisi tenaga
kerja di Indonesia (Kemendikbud dan GIZ SED-TVET, 2016). Bonus demografi
Indonesia membuka peluang tersedianya penduduk usia kerja dalam jumlah besar.
Jika dioptimalkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam
jangka panjang (Kemendikbud dan GIZ SED-TVET, 2016). Hal ini harus dimanfaatkan
dan disinergikan dengan visi pendidikan vokasi Indonesia 2030, yaitu
“Terwujudnya Pendidikan Kejuruan Indonesia yang menghasilkan lulusan dengan
kompetensi yang dibutuhkan dan diakui dunia usaha dan dunia industri serta
menguasai keterampilan abad 21 yang relevan” (Kemendikbud dan GIZ SED-TVET,
2016).
Alur
proses penjaminan mutu pendidikan vokasi di Inggris cukup rumit dalam rangka
penilaian internal maupun eksternal. Dalam revitalisasi pendidikan vokasi di
Indonesia yang sedang berjalan, pemerintah dapat menjadikan proses penjaminan
mutu pendidikan vokasi di Inggris sebagai referensi untuk membuat alur proses
penjaminan mutu yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan vokasi Indonesia
2030. magang merupakan pelatihan berbasis kerja di berbagai sektor untuk
mempelajari berbagai keterampilan baru dan mendapatkan kualifikasi yang diakui
saat mereka bekerja.Kebijakan magang per negara mempunyai kebijakan yang
berbeda-beda. Berbeda dengan negara Inggrisdi mana peserta magang ada peserta
didik, di Indonesia guru juga diberikan kesempatan magang. Hal ini dikarenakan
kurangnya kualitas guru, distribusi guru yang kurang merata di berbagai wilayah
di Indonesia dan belum terpenuhinya guru produktif (Kemendikbud dan GIZ
SED-TVET, 2016). Terakhir, di Inggris dalam peraturan magang dijelaskan dengan
rinci bahwa peserta didik yang mengikuti magang akan mendapatkan gaji selama
proses magang. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia bisa menjadikan proses
magang di Inggris sebagai referensi untuk membuat perjanjian gaji selama proses
peserta didik magang.
Green-TVET dan Higher-Order Thinking
(HOT) Skills
Reformasi pelaksanaan pendidikan
vokasi di Inggris terus dilakukan untuk menyiapkan tenaga kerja yang handal
baik dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Meskipun keempat negara
bagian Inggris memiliki otonomi untuk menentukan sistem dan kebijakan
pendidikan vokasi, semuanya mengacu kepada tujuan yang sama dalam menciptakan
sumber daya manusia yang kompeten untuk berkontribusi dalam pertumbuhan
ekonomi. Kurikulum yang dikembangkan memuat keterampilan inti/dasar/wajib
akademik (core skills), keterampilan vokasi (vocational skills) sesuai
spesialisasi yang diambil dan keterampilan kerja (employability skills) berupa
keterampilan penunjang di dunia kerja. Peserta didik dapat menguasai
keterampilan tersebut melalui dua rute yang sesuai pilihan yakni melalui jalur
pembelajaran di kelas (college-based atau school-based) atau melalui program
magang (employed-based approach). Penyedia pendidikan vokasi bekerjasama dengan
pengusaha dan profesional untuk menyusun kurikulum agar kualifikasi lulusan
sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Kurikulum dan pembelajaran fokus pada
memberikan pengalaman nyata berupa project-based learning dengan terus
mengikuti perkembangan teknologi dan kepedulian lingkungan.
Beberapa hal yang dapat dipelajari
dari pendidikan vokasi di Inggris adalah:
1.
Reformasi kurikulum yang berkelanjutan. Mengulas kembali kurikulum vokasi di
Indonesia terkait program studi dan mata pelajaran yang relevan dengan
kebutuhan industri dan perkembangan zaman. Misalnya program studi programming,
maritim, pariwisata, teknologi digital, dan sebagainya yang disesuaikan dengan
kebutuhan tiap wilayah.
2.
Meningkatkan kerjasama (partnership) antara sekolah dan industri dengan
melibatkan pengusaha, tenaga ahli/profesional dari perusahaan, dan lembaga
bimbingan karir dalam menyusun kurikulum pendidikan vokasi termasuk program
binaan dan program magang untuk menyelaraskan keterampilan yang dibutuhkan dan
meminimalisir gap antara keterampilan lulusan dan keterampilan dunia kerja.
3.
Mengintegrasikan keterampilan dan kecakapan hidup dalam panduan kurikulum
nasional dan pembelajaran termasuk kepedulian lingkungan terkait isu perubahan
iklim dan energi terbarukan sebagai upaya merespon isu lingkungan global. Misal
pelatihan kepada kepala sekolah dan guru-guru agar sekolah memiliki program
yang ramah lingkungan dan menerapkannya ke dalam pembelajaran vokasi.
4.
Peningkatan kompetensi guru pendidikan vokasi. Pelaksanaan continued
profesional development (CPD) bagu guru-guru sekolah vokasi melalui guru magang
di perusahaan, guru tamu dari perusahaan /industri, program pendidikan guru
(teacher education)vokasi, dan workshop rutin bagi guru vokasi baik mengenai
kurikulum, pedagogi dan perkembangan dunia kerja. Penekanan pembelajaran pada
projectbased learning untuk menghindari peserta didik terjebak belajar untuk
ujian nasional tertulis.
5.
Penambahan infrastuktur berupa fasilitas pembelajaran untuk praktik kerja di
sekolah menengah kejuruan dan perbaikan sistem program magang di perusahaan.
Sekolah menjalin kerjasama dengan perusahaan sebagai tempat praktik peserta
didik terutama jika fasilitas sekolah minim, sekaligus perbaikan program magang
di perusahaan yang selama ini terkesan kurang serius, yakni untuk memenuhi
persyaratan kelulusan.
Transferable
Skills
Pertama,
konsep transferable skills masih sangat abstrak sehingga sulit untuk
diintegrasikan dalam pembelajaran secara holistik. Untuk itu diperlukan
partisipasi dari pemerintah, pemangku kepentingan, pemberi kerja dan pekerja
untuk mengidentifikasi transferable skills yang perlu untuk dikembangkan dalam
lingkup konsep, politik dan praktik (UNESCO, 2014). Diharapkan dengan peran
aktif dari para pemangku kepentingan arah pengembangan transferable skills
dapat disesuaikan dengan proyeksi pekerjaan di masa yang akan datang. Seperti
yang telah diterapkan di sistem pendidikan vokasi di Inggris, pemerintah dan
perusahaan berkolaborasi mendanai dan mengelola pendidikan vokasi agar dapat
meningkatkan relevansi konten pendidikan dengan pekerjaan di masa yang akan
datang. Sedangkan di Indonesia, pengintegrasian transferable skills dalam
kurikulum masih belum konsisten. Transferable skills yang dikenal dengan
pendidikan kecakapan hidup atau life skills, masih terbatas pada dokumen
peraturan pemerintah (Permendiknas 23/2006) dan baru diterapkan secara lebih
intens pada kurikulum 2013 (Permendikbud 54/2013) (Kurnia, Setiawan, & Dittrich, 2014).
Selain itu, pemerintah juga baru memulai mengikutsertakan industri dalam
menentukan dan mengembangkan transferable skills beserta cara pengajaran dan
penilaiannya sejak tahun 2016 (Kemendikbud, 2016)
Kedua,
meskipun pada kenyataannya pengembangan transferable skills dapat menguntungkan
maupun merugikan pemberi kerja, transferable skills tetap perlu dikembangkan
dalam pendidikan vokasi (OECD, 2011). Pada satu sisi, pengembangan transferable
skills dapat membantu pemberi kerja dan juga pekerja karena
keterampilanketerampilan tersebut dapat memudahkan pekerja untuk bekerja secara
efektif dalam berbagai situasi. Selain itu, transferable skills, juga dapat
membantu mobilitas jenjang karir pekerja baik di dalam maupun di luar perusahaan.
Pada sisi lainnya, memiliki transferable skills juga dapat merugikan pemberi
kerja karena pekerja dapat lebih mudah memperoleh promosi atau berpindah
perusahaan (OECD, 2011). Dilema tersebut justru tidak nampak dalam ulasan
pendidikan vokasidi Inggris. Berbagai ulasan tentang pengembangan transferable
skills menilai dampak transferable skills sangat positif dalam dunia kerja.
Sedangkan dalam pendidikan vokasi di Indonesia sendiri, meskipun semakin banyak
pemberi kerja yang menyadari pentingnya
transferable skills, keterampilanketerampilan tersebut masih belum dianggap
penting
Terakhir,
pengintegrasian transferable skills dalam kurikulum pendidikan vokasi berkaitan
erat dengan kualitas pendidikan di suatu negara, khususnya kualitas guru. Dalam
ulasan di atas, empat negara bagian Inggris telah mengintegrasikan transferable
skills dalam kurikulum pendidikan vokasi khususnya program magang, selain itu,
guru memiliki peran penting dalam menerapkan kurikulum tersebut (UNESCO, 2012).
Contohnya di Irlandia Utara, tutor pendidikan vokasi formal maupun non-formal
harus diakreditasi. Pengintegrasian transferable skills dalam kurikulum dan
pengembangan mutu guru pendidikan vokasi telah mulai diterapkan dalam peta
jalan revitalisasi pendidikan vokasi di Indonesia 2016-2030 (Kemendikbud,
2016).
Pembelajaran dan Penilaian Otentik
dalam Pendidikan Vokasi
Ofsted (The Office for Standards in
Education, Children’s Services and Skills), badan pemerintah Inggris yang
memiliki kewenangan mengatur dan memberikan layanan pendidikan, dalam laporan
tahunannya di tahun 2011, menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan kurang
efektifnya suatu kegiatan pembelajaran, diantaranya: 1. Guru menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk ceramah. 2. Konten pembelajaran kurang imajinatif 3.
Sikap bertanya kurang terbentuk di kelas sehingga siswa tidak terbiasa untuk
berpikir secara mendalam dan kritis 4. Poses pembelajaran kurang menarik
sehingga siswa tidak termotivasi untuk belajar.
Program Pembelajaran Sepanjang Hayat
pada Pendidikan Vokasi di Inggris
Sistem pendidikan vokasiyang ada di
negara Inggris, program Lifelong learning sudah ditekankan oleh pemerintah
sejak tahun 1998. Penerapan program inipun juga sangat aplikatif karena
penerapannya diatur dan dikembangkan oleh tiap negara bagian: Inggris, Wales,
Irlandia utara dan Skotlandia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki sistem
pemerintahan otonomi daerah, Indonesia bisa mencoba belajar dari implementasi
program Lifelong learning di Inggris. Pada intinya pemerintah Inggris terus
memastikan bahwa setiap individu memiliki hak dan tanggung jawab yang sama
dalam pendidikan dan terus mengasah serta mengembangkan keterampilan mereka
untuk menghadapi tantangan perubahan zaman. Semua orang mendapatkan kesempatan
yang sama untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilan mereka terutama
dalam bidang teknologi dan digital dalam rangka menguatkan ekonomi negara di
persaingan global.
Setiap orang di Inggris diwajibkan
untuk mempelajari dan mengembangkan keterampilan yang berbasis pada pekerjaan
seperti literasi, numerasi, problem-solving dalam bidang teknologi dan digital.
Keterampilan digital sangatlah penting untuk mendapatkan kesempatan kerja yang
luas dan upah yang tinggi. Selain itu, juga ditekankan untuk selalu
meningkatkan keterampilan non-kognitif seperti motivasi diri, kerja keras, daya
tahan dan kontrol diri, karena semua keterampilan ini dapat menentukan variasi
pekerjaan dan stabilitas finansial mereka.
Pemerintah Inggris juga memberikan
fasilitas dan ruang penuh kepada seluruh masyarakat untuk mengembangkan diri
mereka. Komponen penting yang harus dimiliki oleh setiap individu di Inggris
adalah 4Cs (Concern, Control, Curiosity and Confidence) agar mereka bisa
beradaptasi sepanjang karir hidupnya. Selain itu, perhatian pemerintah untuk
memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam
meningkatkan keterampilan dan dunia kerja adalah dibentuknya program dan
rencana strategis kepada para kaum marginal seperti para imigran, kaum difabel,
lanjut usia dan narapidana. Salah satu contoh yang paling berbeda adalah
pembentukan program rehabilitasi yang bernama Prison Industries beserta tim
khusus tertentu untuk memberikan pelatihan dan persiapan kerja bagi para
narapidana baik di dalam maupun diluar penjara bekerja sama dengan pemangku
kepentinganyang ada dan para pengusaha.
Integrasi TIK dalam Pendidikan
Vokasi Inggris
Pendidikan di Inggris sangat
memanfaatkan sarana Web 2.0 dalam manajemen pendidikan, pembelajaran peserta
didik, pengadaan sumber daya dan literatur, serta social networking(Herd &
Richardson, 2010). Pada dasarnya, pemanfaatan sarana Web 2.0 ini sangat
membantu terlaksananya berbagai program yang sudah dilakukan oleh institusi
selama ini. Selain itu, secara tidak langsung, ketika peserta didik terbiasa
dengan penggunaan TIK dalam pembelajaran mereka, kemampuan mereka dalam
mengoperasikan TIK (digital literacy) juga terasah. Digital literacy ini sangat
dibutuhkan oleh peserta didik ketika akan terjun ke dunia kerja dalam era
digital ini.
Beberapa
kendala dalam usaha mengintegrasikan TIK dengan pendidikan masih perlu
diperhatikan. Salah satunya, kendala dalam memberikan pelatihan keterampilan
praktis dapat ditanggulangi dengan menerapkan blended learningyang sudah cukup
dikenal di Indonesia. Blended learning dianggap mampu memaksimalkan peran dari
masingmasing fungsi pembelajaran, baik secara konvensional maupun secara
digital. Blended learning merupakan kombinasi antara pembelajaran faceto-face
di dalam kelas dan pembelajaran secara online. Pembelajaran jenis ini dipercaya
dapat mempermudah tercapainya tujuan pembelajaran. Selain itu, fleksibilitas
yang ditawarkan oleh blended learning sangat mampu memfasilitasi peserta didik
yang beragam. Selain blended learning, pemanfaatan VLE (Virtual Learning
Environment) tampaknya dapat memberikan kontribusi besar dalam kemajuan
pendidikan vokasi di Indonesia.
Kendala
yang dihadapi dalam proses penerapan TIK dalam Pendidikan vokasi terletak pada
pemilihan tipe integrasi, desain materi dan domain pembelajaran apa yang
menjadi target dari program integrasi ini (Yasak & Alias, 2015). Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, beberapa keterampilan praktis masih
memerlukan tenaga ahli untuk mendampingi dan mengawasi proses pembelajarannya.
Di Indonesia, terhitung hingga tahun 2015, masih banyak tenaga pendidik yang
masih belum menguasai perangkat TIK dengan baik dan 12% dari keseluruhan tenaga
pendidik masih memiliki kualifikasi akademik di bawah standar (Kemendikbud,
2016). Fakta ini menunjukkan ketimpangan dalam pendidikan vokasi di Indonesia
mengingat jumlah jurusan paket keahlian bidang studi TIK di Indonesia mencapai
6,724 pada tahun 2015 (Kemendikbud, 2015 dalam Kemendikbud, n/a). Jumlah
tersebut belum termasuk bidang keahlian lain yang juga sudah mengintegrasikan
TIK dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu, sumber daya manusia yang
memenuhi kualifikasi akademik dan penguasaan perangkat TIK merupakan hal utama
yang perlu diperhatikan.
Bimbingan Karier dan Informasi
Lapangan Kerja
Pelaksanaan bimbingan karier di
sekolah-sekolah di UK mendapatkan dukungan yang sangat tinggi dari pemerintah.
Hal tersebut dibuktikan dengan dicantumkannya pasal khusus mengenai bimbingan
karier di dalam undang-undang pendidikan nasional. Pasal tersebut juga terus
diperbaiki relevansinya secara berkala. Banyaknya panduan dan kode etik yang
telah diterbitkan pemerintah bagi sekolah-sekolah di UK juga merupakan bentuk
keseriusan pemerintah terhadap kesuksesan karier peserta didik. Fasilitas dan
layanan yang dibangun pemerintah seperti National Career Service maupun
Jobcentre Plus menjadikan layanan bimbingan karier di sekolah menjadi lebih
mudah dan bervariasi. Dari sisi evaluasi program, Ofsted juga berperan dalam
mengevaluasi setiap kebijakan mengenai bimbingan karier di Inggris.
Akses dan Kesamaan dalam Pendidikan
Vokasi
Pemerintah Inggris berusaha untuk
memberikan akses ke pendidikan vokasi yang merata, melalui misalnya rumus
pendanaan sekolah untuk peserta didik hingga usia 18 tahun dan khusus untuk
difabel sampai usia 24 tahun Funding Formula yang memasukkan 7 faktor ke
dalamnya, termasuk latar belakang ekonomi dan prestasi peserta didik. Untuk
mendukung program apprenticeship misalnya, ada kebijakan ‘Uplift Advantage’ dan
‘STEM uplift’ yang diberikan kepada pihak penyelanggara pelatihan untuk
memastikan pendidikan yang berkualitas dapat diakses oleh semua pihak termasuk
yang tinggal di daerah tertinggal ataupun yang difabel juga yang mengambil
program STEM yang membutuhkan dana lebih. Sistem pendanaan seperti ini mungkin
dapat diadopsi di Indonesia mengingat Indonesia belum ada mekanisme pendanaan
pendidikan yang baku dan sistematis. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran
dana pendidikan seperti faktor geografis, biaya hidup di lingkungan sekolah
tersebut, latar belakang ekonomi serta kelengkapan fisik sekolah bisa
dimasukkan dalam pengembangan rumus pendanaan ini. Perhatian terhadap golongan
difabel juga menjadi salah satu praktek baik yang dapat diimplementasikan di
Indonesia.
Peran
dari bimbingan karir menjadi sangat penting untuk membimbing peserta didik
bukan hanya mengambil jalur pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat,
potensinya tetapi juga untuk meyakinkan mereka bahwa pendidikan vokasi bukanlah
jalur untuk anak yang kurang pintar, bermasalah ataupun miskin. Selain itu,
penting untuk mematahkan stereotip bahwa jurusan tertentu hanya untuk gender tertentu. Untuk
mencapai hal ini, diperlukan pendidikan semua pihak, mulai dari guru, orangtua
dan juga masyarakat luas. Belajar dari pengalaman Inggris dan negara-negara
lain yang mempunyai angka pengangguran yang lebih rendah dari Indonesia, selain
penyetaraan status pendidikan umum dan vokasi yang harus membumi, penguatan
peran dan kerjasama dengan berbagai pihak, seperti dengan dunia kerja dan
industri, universitas, komunitas lokal dan orang tua sangatlah penting untuk
menyukseskan terlaksananya pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan baik pada
khususnya, dan sistem pendidikan yang holistik pada umumnya.
Inklusifitas Pendidikan Vokasi di
Inggris
Layanan pendidikan inklusif masih
memiliki status yang cukup ambigu dan kompleks, sehingga penentuan kebijakan
untuk isu ini pun bukan merupakan hal yang mudah. Inggris memiliki beragam
kebijakan dan panduan untuk pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, khususnya
dalam kaitannya dengan pendidikan kejuruan. SEND Code of Practice 2015
merupakan pedoman paling utama sebagai acuan segala jenis turunan panduan dalam
memberikan layanan pendidikan para IBK. Dari pedoman ini, terdapat beragam
panduan praktis lainnya yang dapat memudahkan sekolah-sekolah dan LEAs dalam
menjalankan butir-butir yang diusung di SEND CoP 2015 tersebut. Namun, Ofsted
masih menilai bahwa masih banyak aspek yang belum dipraktikkan secara maksimal
dalam pemberian layanan apprenticeships di Inggris. Artinya, sudah banyak hal
positif yang dapat dicontoh dari praktik pendidikan kejuruan bagi para IBK di
Inggris. Namun, bukan berarti seluruh program tersebut sudah berjalan dengan
ideal. Diperlukan kekritisan dalam mengevaluasi dan mempertimbangkan penerapan
kebijakan serupa dengan konteks yang berbeda.
Konsep dan Implementasi Public Private Partnership pada
Pendidikan Vokasi
Program PPP
merupakan jawaban atas tantangan yang dihadapi dunia pendidikan untuk
meningkatkan kualitas dan memperluas akses bagi seluruh warga negara. PPP
mencakup berbagai jenjang pendidikan, mulai pendidikan dasar dan menengah,
sampai pendidikan tinggi, termasuk di dalamnya untuk pendidikan vokasi. Program
PPP sangat penting untuk diimplementasikan pada pendidikan vokasi di Indonesia,
mengingat kapasitas pemerintah untuk menyediakan infrastruktur pendidikan masih
terbatas. Di samping itu, dunia usaha dan industri memiliki kebutuhan yang
tinggi atas lulusan yang memahami praktik kerja dan memiliki keterampilan
khusus. Program PPP dapat menjadi jembatan untuk menyatukan pandangan dan
mengidentifikasi kesesuaian metode pembelajaran agar peserta didik memperoleh
keterampilan secara maksimal. Dunia usaha dan industri diharapkan dapat
berpartisipasi dalam menyediakan lapangan kerja yang selaras dengan kompetensi
siswa. Program revitalisasi pendidikan vokasi (khususnya SMK) yang dijalankan
pemerintah Indonesia antara lain dilakukan melalui program PPP dengan
melibatkan Dunia Usaha dan Industri (DUDI).
Referensi :
1. Ferary, Dorothy.(2018). Ikhtisar
Sistem Pendidikan di Inggris. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London
2. Azalia Khan, Davina. (2018). Perkembangan
Konsep dan Implementasi Pendidikan Vokasi dan Sistem Sertifikasi di Inggris. Kantor
Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris.
KBRI London: London
3. Dwi Utami, Aprillyana. (2018). Penjaminan
Mutu Pendidikan Vokasi di Inggris. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
4. Lestari, Sri. (2018). Green-TVET dan Higher-Order Thinking
(HOT) Skills. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan
Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
5. Apriyani, Melisa. (2018). Transferable
Skills. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di
Inggris. KBRI London: London.
6. Nishar, Uyun. (2018). Pembelajaran
dan Penilaian Otentik dalam Pendidikan Vokasi. Kantor Atase Pendidikan dan
Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
7. Restu Febrianto, Ariza. (2018). Program
Pembelajaran Sepanjang Hayat pada Pendidikan Vokasi di Inggris. Kantor Atase Pendidikan
dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
8. Dorothy Ferary dan Navila Roslidah,
(2018). Integrasi TIK dalam Pendidikan Vokasi Inggris. Kantor Atase Pendidikan
dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
9. Caesar Pratikta, Arihdya. (2018). Bimbingan Karier
dan Informasi Lapangan Kerja. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
10. Yani Harjatanaya, Tracey. (2018). Akses
dan Kesamaan dalam Pendidikan Vokasi. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
11. Kurnia, Rinda S. (2018). Inklusifitas
Pendidikan Vokasi di Inggris. Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
12. Waluyo, Budi. (2018). Konsep dan
Implementasi Public Private Partnership pada Pendidikan Vokasi. Kantor Atase Pendidikan
dan Kebudayaan. Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris. KBRI London: London.
Komentar
Posting Komentar